Belum lekang dari ingatan, September 2017 lalu penikmat film dalam negeri dibuat bergidig oleh aksi film Pengabdi Setan. Film yang dinobatkan sebagai film horor terbaik 2017 itu hingga kini pun tetap kukuh di atas awan. Sejak merajai di lima kategori penghargaan Piala Maya 6 pada Desember 2017 lalu, Pengabdi Setan semakin sibuk keliling ke berbagai festival film dunia bergengsi, salah satunya International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2018 di Belanda. Di balik kesuksesan film tersebut, nama sutradara Joko Anwar tidak kalah gemanya. Di balik kepiawaiannya meramu cerita, Joko Anwar menyebut dirinya sebagai pecinta film eksploitasi. Hal ini pulalah yang nampaknya turut memoles Pengabdi Setan versi tahun 2017 menjadi lebih seram ketimbang pendahulunya.
Nama Joko Anwar naik ke panggung perfilman dalam negeri sejak menggarap naskah film Arisan! yang melesat di tangga perbioskopan lokal di tahun 2003. Dua tahun kemudian ia kembali dengan cerita Janji Joni, kali ini merangkap sutradara. Film yang dibintangi Nicholas Saputra tersebut disebut-sebut menjadi debut yang gemilang bagi karir sutradara yang mengaku naksir berat pada versi lawas film Pengabdi Setan ini.
Setelah enam tahun bergelut dalam penulisan cerita cinta dan komedi, sang sineas kembali dengan membawa film yang boleh dibilang tidak pernah ditemui lagi di Indonesia. Di tahun 2007, Anwar mengemas film kriminalitas berbumbu mistis dengan gaya film noir berjudul Kala. Film berjudul lengkap Dead Time: Kala tersebut dipuji menjadi lompatan terbesar perfilman Indonesia sejak kehilangan gairah satu dekade terakhir. Dalam sebuah interview, Anwar mengaku Kala adalah wujud surat cintanya terhadap genre film eksploitasi.
Wah, sebenarnya apa sih film eksploitasi yang membawa Joko Anwar ke puncak karirnya itu? Dilansir dari popcornhorror.com, film eksploitasi umumnya film-film bermodal rendah yang bertujuan mengeksploitasi topik-topik tabu dan kontroversi. Maka, bagi moviegoers yang gemar menonton film horor atau thriller asal Amerika yang kerap menonjolkan darah dan aktivitas intim manusia, tidak salah lagi Kamu sedang menonton film eksploitasi. Meski tidak jarang jenis film yang pernah merajai tangga film Hollywood selepas Perang Dunia II ini digarap secara serampangan, jenis film eksploitasi itu sendiri dinilai memiliki latar belakang kultural yang dalam.
Sejak lebih dari 30 tahun, film eksploitasi menjadi salah satu tema menarik dalam kajian studi perfilman dunia. Berdebatan berseliweran saling sahut tentang sejauh apa pengaruh budaya setempat harus terlibat sehingga sebuah film dapat dikatakan eksploitasi. Sejauh ini, para pakar bersepakat bahwa film jenis ini lahir berkat perlawanan seniman film terhadap sensor film di tiap negara. Maka jangan heran apabila film eksploitasi sering menyisipkan narasi bermuatan kritik atau protes tersembunyi.
Film eksploitasi di Indonesia ternyata sudah dapat ditemui sejak tahun 1980an. Di saat sensor film dalam negeri diterapkan amat ketat, saat itulah film jenis ini menemukan pangsanya. Maka tidak heran, film Pengabdi Setan versi lawas pun lahir pada periode yang sama, tepatnya di tahun 1982. Lalu kenapa ya, film jenis ini seolah menghilang hampir dua dekade lamanya. Cari tahu jawabannya yuk di artikel selanjutnya. (IA)
Sumber gambar: Sisternet.co.id