Gagasan film eksploitasi sebenarnya sudah pernah menyerbu masuk ke Indonesia jauh sebelum Joko Anwar merilis Kala. Bersamaan dengan perketatan sensor film Orde Baru, tahun 1980an justru menjadi era keemasan film eksploitasi di Indonesia. Kala itu, film kolosal Jaka Sembung menjadi salah satu judul film eksploitasi terkenal yang diperdagangkan hingga pasar film internasional. Responnya pun cukup baik. Bagi Kamu yang sempat menontonnya, pasti masih ingat dengan adegan kepala terbang dan darah yang berceceran saat mempertontonkan perut terbelah. Sayangnya, era keemasan perfilman Indonesia ini tidak berlangsung lama. Industri film Orde Baru perlahan menyusut akibat pukulan krisis ekonomi tahun 1990an, dibarengi persaingan dengan televisi.
Iklim negara dan sensor film Indonesia selepas Orde Baru terbukti belum mau menyediakan banyak ruang bagi film lokal, apalagi yang berjenis eksploitasi. Kekerasan dan hal-hal tabu yang selalu menjadi latar film eksploitasi dinilai tidak patut tonton. Akan tetapi, tidak adil rasanya apabila selalu menuding penonton Indonesia belum dapat membedakan antara fiksi dan realitas. Alasan macetnya produksi film dalam negeri sejatinya berakar dari bioskop Indonesia yang sudah penuh sesak oleh film-film Hollywood, hingga menciutkan potensi film dalam negeri. Walhasil, semakin banyak lapisan masyarakat yang enggan bersentuhan dengan film lokal.
Di tengah iklim industri film yang demikian, Joko Anwar bisa dibilang merupakan darah baru perfilman, khususnya yang berjenis eksploitasi. Belenggu sensor film nampaknya malah membuat Anwar makin bersemangat membuat lebih banyak film jenis eksploitasi. Demi mimpinya ini, Anwar aktif bergelut di jalur film independen dan memilih kanal distribusi film alternatif dengan mempertontonkan film buatan anak bangsa ke festival film di luar negeri. Pada kesempatan yang sama, ia pernah menggarap film horor pendek tentang seorang anak yang tak sengaja terkubur bersama jasad ayahnya ke liang lahat, bertajuk Grave Torture. Film berdurasi 7 menit itu dapat Kamu tonton di kanal Youtube The YOMYOMF Network, sebuah kanal bentukan para Youtuber kawakan yang disponsori langsung oleh Youtube. Selain itu, Anwar juga banyak menggarap film-film pendek bernuansa horor dan gore yang malah dipinang oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk dijadikan materi iklan.
Grave Torture sebagaimana film layar lebar Anwar sebelumnya, seperti Pintu Terlarang (2009) dan Modus Anomali (2012), kesemuanya memiliki tema unik dan janggal. Kesamaan lainnya nampak pada perilaku tokoh yang keluar dari kebiasaan umum. Sang sutradara yang juga merangkap penyusun cerita seolah tengah bereksperimen terhadap konflik jiwa tokoh-tokoh filmnya. Kejanggalan ini lantas dijadikan konteks untuk mempertanyaan hal-hal kontroversi berkenaan sebuah sistem dan tradisi masyarakat. Kebiasaan ini pula yang belakangan menyedot perhatian pecinta film lewat Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), yang tidak enggan lagi memperlihatkan tokoh utama perempuan yang memenggal dan pergi menenteng kepala seseorang yang merengut harta dan kehormatannya.
Bagi sebagian orang, film eksploitasi dicap sebagai jenis film yang sengaja mengeksploitasi naluri rendah manusia. Melalui tema-tema gelap dan satir, film eksploitasi tidak ragu mengeksplorasi wilayah seksualitas atau tindak kekerasan yang menonjolkan rasa sakit. Meski terlihat janggal, sejatinya film eksploitasi juga dapat disebut sebagai seni menarik perhatian penonton untuk menjual film. Jadi, apakah Kamu salah satu penggemar film eksploitasi? (IA)
Sumber gambar: Sisternet.co.id