Seorang travel addict sejati pasti selalu memburu tempat-tempat unik dan menarik untuk dijelajahi. Belakangan, destinasi wisata yang seru dan suram tak luput menjadi incaran penyuka traveling. Alasannya sederhana: semakin suram, semakin banyak kisah yang menarik untuk dikulik.
Dari sekian negara yang punya lokasi-lokasi wisata anti-mainstream dan suram, Jepang merupakan salah satunya. Di negara para Samurai itu sobat bisa mendapati sebuah desa yang menempatkan boneka orang-orangan sawah sebagai pengganti warga desa yang telah lama pergi. Desa itu bernama Desa Nagoro. Suram atau malah lucu?
Apabila sobat menganggap Desa Nagoro belum cukup suram, tunggu sampai kamu mengetahui alasan di balik kemunculan boneka-boneka tersebut. Nagoro merupakan satu dari ratusan desa yang terkena imbas penurunan tajam angka kelahiran di Jepang. Pada tahun 2016, hanya tinggal 10 orang saja yang masih tinggal di desa ini, mereka terdiri dari orang-orang berusia lanjut.
Di desa kecil yang terletak di Lembah Iya, Prefektur Tokushima, itu terdapat ratusan orang-orangan sawah lengkap dengan pakaian dan atribut khas masyarakat desa di Jepang. Mereka disusun sedemikian rupa di lokasi-lokasi tertentu seolah-olah tengah mengerjakan sebuah pekerjaan layaknya warga desa sungguhan. Bahkan, boneka-boneka itu masing-masing dinamai sama dengan penduduk-penduduk desa yang sudah lama meninggal atau pindah ke tempat lain.
Melansir Travel News Digest, Minggu (23/6/2019), Nagoro berubah menjadi desa pembuat boneka orang-orangan sawah tatkala Tsukimi Ayano pulang kampung untuk merawat ayahnya yang sakit-sakitan. Awalnya, Ayano hanya bermaksud membuat boneka untuk menjaga sawah dari hama. Pekerjaannya itu kemudian berlanjut menjadi pekerjaan rutin setelah mendapati banyak warga desa yang meninggal atau pindah ke tempat lain.
Kini, boneka buatan Ayano jumlahnya sudah mencapai lebih dari 350 boneka dan tersebar di penjuru desa. Jumlahnya jauh mengungguli penduduk aslinya sendiri yang jumlahnya bisa dihitung dengan dua tangan. Apabila dipandang dari kejauhan desa ini nampak ramai tetapi juga sepi di saat bersamaan.
Boneka-boneka buatan Ayano tidak hanya terpajang di sepanjang jalan desa, warung, pelataran rumah atau pesawahan, tetapi juga memenuhi gedung sekolah yang kini kosong melompong. Sejak tahun 2014, tak ada lagi anak kecil yang lahir dan tinggal di Nagoro, akibatnya sekolah pun tutup karena kehabisan siswa. Di sinilah, Ayano menyusun boneka-bonekanya di setiap ruang kelas, lengkap dengan boneka berpakaian guru, seolah tengah terjadi kegiatan mengajar.
“Ketika saya masih kecil, desa ini begitu hidup. Setiap tahun selalu diadakan festival musim panas. Orang-orang dari penjuru desa akan berkumpul di sekolah untuk membuat perayaan. Pada akhirnya hanya tersisa dua anak dan sekolah pun ditutup. Sudah tidak ada lagi suara anak kecil, hal ini membuat saya sedih,” tutur Ayano, kembali mengutip Travel News Digest.
Desa Nagoro sebenarnya bukanlah desa wisata. Kendati demikian, keunikannya mampu menyihir pelancong-pelancong dari berbagai negara untuk singgah menikmati seisi desa. Sebagian wisatawan yang mampir di desa ini adalah orang-orang asing, di samping wisatawan domestik. (IA)
Sumber gambar: ctvnews.ca