Tidak diragukan lagi, Black Panther pantas dinobatkan menjadi film terbaik di awal tahun 2018 ini. Bagaimana tidak, sejak premier di Indonesia 14 Februari lalu, perhatian media tak hentinya tersedot kepada film Superhero terbaru besutan Marvel Studio tersebut. Mulai dari kontroversi terhadap isu rasial orang kulit hitam hingga penampakan baju koko Black Panther yang mengundang rasa ingin tahu netizen Indonesia.

Di balik hingar bingar popularitas film yang diklaim sebagai film Superhero kulit hitam pertama ini, Black Panther ternyata memang memiliki kisah yang unik. Saya sendiri baru sempat menontonnya hari selasa lalu (20/02) karena selalu tertinggal mendapat tempat duduk yang bagus di tengah bioskop yang penuh sesak. Kini, saya tidak lagi keheranan mengapa film ini begitu populer hingga membuat kursi bioskop selalu terjual habis. Tidak semata bermodal kontroversi, Marvel Studio seolah tengah membuktikan bahwa kisah pahlawan super yang dianggap dongeng oleh para orang tua pun bisa begitu realitis menyentuh isu politik dan kultural sebuah bangsa terjajah.

Karakter Black Panther diperkenalkan pertama kali dalam film Captain Amerika: Civil War (2016). T’Challa (Chadwick Boseman) adalah Pangeran Wakanda, sebuah negara kerajaan fiktif di Afrika Timur. Alkisah, demi menuntut balas kematian ayahanda—sang Raja yang tewas akibat insiden pemboman saat tengah memimpin penandatanganan Perjanjian Sokovia—T’Challa mengambil jubah Black Panther milik sang ayah. Seraya cerita menyentuh klimaks, T’Challa luluh mendapati fakta yang menyedihkan di balik otak pembunuh ayahnya. Bertekad melupakan dendamnya, ia pun kembali ke negerinya untuk dinobatkan menjadi Raja.

Di mata dunia, Wakanda adalah negara dunia ke tiga yang amat miskin. Sebagaimana umumnya penilaian negara-negara Barat terhadap negara-negara bekas koloni Eropa di Afrika, negeri asal Black Panther dipandang sebelah mata sebagai negara yang rapuh di segala bidang dan hampir selalu membutuhkan uluran bantuan organisasi dunia. Namun, semua itu ternyata keliru. Kenyataannya, Wakanda adalah negara yang luar biasa kaya, berteknologi canggih, dan hampir-hampir tidak membutuhkan bantuan dari negara lain. Segala kekayaan dan teknologi rakyat Wakanda didapat dari sumber energi logam fiktif bernama Vibranium.

Selama ratusan tahun, Kerajaan Wakanda merahasiakan kekayaan dan teknologi mereka. Pilihan menutup diri dari pengawasan dunia semata-masa demi melindungi limpahan Vibranium yang hanya dapat ditambang di tanah Wakanda. Apabila Vibranium sampai diketahui dunia luar, perusahaan pengambang senjata dan teknologi atau bahkan negara-negara adidaya, niscaya mengejar logam yang konon datang bersama hantaman meteor ribuan tahun silam itu. Akan banyak pihak yang menancapkan kukunya di tanah Wakanda. Akibatnya, perang kepentingan tak terelakan dan Wakanda akan dihadapkan pada konflik politik berkepanjangan. Alasan-alasan inilah yang memantapkan Raja T’Challa mengikuti jejak mendiang ayahnya untuk tidak membuka perbatasan negara.

Tradisi menutup diri kerajaan Wakanda dalam cerita Black Panther bisa dibilang sebagai buah protes realita pendudukan negara barat terhadap bangsa Afrika sejak akhir abad ke-19. Selain pendudukan, tradisi perbudakan yang marak di Amerika pada abad 18 dan 19 pun menyisakan luka bagi para keturunan bangsa Afrika di Amerika. Narasi anti terhadap pengaruh luar ini memanjang menjadi inti konflik film Black Panther. Bahkan dalam sebuah dialog film, para karakternya digambarkan membenci orang kulit putih dan tidak segan menjuluki Amerika sebagai negara penjajah.

Kisah politik isolasi Wakanda ini kemudian diguncang oleh kemunculan tokoh antagonis Erik Killmonger (Michael B. Jordan). Killmonger yang belakangan digadang-gadang sebagai villain terbaik Marvel Cinematic Universe, menuntut Raja baru Wakanda untuk turun tahta agar Wakanda dapat ‘keluar’ membantu para keturunan tanah Afrika di seluruh dunia, sekaligus memberi pelajaran pada bangsa penjajah. Tidak hanya menampilkan keseruan adegan aksi ala Marvel Studio, hubungan keduanya diwarnai oleh pertentangan ideologi yang sayang untuk dilewatkan. Perang antara T’Challa dan Killmonger pun berakhir pada sebuah resolusi yang mengejutkan.

Black Panther lebih dari sebuah film tentang manusia berkuatan super. Di negeri asalnya Amerika, ia menjadi pahlawan isu rasial orang kulit hitam, khususnya saat membicarakan orang Afro-Amerika yang lebih kerap digambarkan sebagai seorang yang kasar dan pecandu narkoba dalam media dan film. Di dalam Black Panther, semua stereotipe tersebut tidak berlaku. Film ke-18 Marvel Studio ini juga pantas dijuluki sebagai film yang mewakili suara minoritas dari suatu bangsa terjajah dan termarjinalkan. Jadi sobat, petualangan menontonmu belum lengkap rasanya apabila belum menonton Black Panther. (IA)

Sumber gambar: Filmschoolrejects.com